DPR dan Pemerintah : Pemidanaan TPPU Terpisah dari Pemidanaan Kejahatan Asal

Harry Witjaksono perwakilan DPR dari Komisi III DPR RI dan Mualimin Abdi perwakilan dari Pemerintah, masing-masing memberikan jawaban atas permohonan pemohon dalam sidang uji materi UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Senin (22/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.

Sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dimohonkan oleh terpidana seumur hidup kasus penyuapan sekaligus selaku mantan Ketua MK, Akil Mochtar kembali digelar. Pada sidang yang digelar Senin (22/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Pemerintah dan DPR menyampaikan keterangan atas permohonan perkara No. 77/PUU-XII/2014 tersebut. Keduanya sepakat

Harry Witjaksono, Anggota Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan menyampaikan keterangan di hadapan pleno hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Hamdan Zoelva. Dalam kesempatan itu Harry menyampaikan TPPU tidak hanya mengancan stabilitas dan integritas sistem perekomoniam serta sistem keuangan, namun juga membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebab secara psikologis, pelaku TPPU selalu berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperolehnya dengan cara melanggar hukum. Tidak heran bila dalam perkembangannya, TPPU menjadi semakin kompleks.

“Tidak pidana pencucian uang semakin kompleks melintasi batas-batas yuridiksi dan menggunakan modus yang semakin variatif dengan memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan. Bahkan, telah merambah ke berbagai sektor,” ujar Harry.

DPR pun kemudian membantah dalil Pemohon yang menyatakan frasa “patut diduga” dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang TPPU sulit diukur dan bertentangan dengan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum. Sebab, suatu rumusan delik pidana atau tindak pidana dapat saja mengandung unsur kesengajaan dan kelalaian yang dirumuskan dalam satu rumusan delik.

Misalnya saja tindak pidana penadahan yang dalam Pasal 480 ayat (2) KUHP terdapat dua jenis kesalahan sekaligus yakni kesengajaan dan kelalaian (culpa) yang dirumuskan dalam satu rumusan delik tindak pidana penadahan. Pasal 480 ayat (2) KUHP berbunyi, “Barang siapa yang mengambil untung dari hasil suatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang-barang itu diperoleh karena kejahatan.” Menurut DPR, dalam rumusan delik penadahan dalam Pasal 480 ayat (2) KUHP tersebut yang juga terdapat frasa “patut dapat disangkanya” memenuhi dua jenis kesalahan. Dengan kata lain, dua pihak yang menitipkan barang hasil kejahatan maupun yang menadahkan barang hasil kejahatan masing-masing tetap dimintai pertanggungjawaban.

Selain itu, DPR juga menampik dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 69 UU TPPU mengakibatkan seorang terdakwa dipidana dengan dakwaan yang belum terbukti secara materiil dan belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehingga bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. DPR berpendapat ketentuan yang menyatakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tersebut justru digunakan sebagai upaya untuk membuka tabir tindak pidana asal yang menjadi motif pelaku TPPU.

“DPR berpendapat tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang yang digunakan untuk menyamarkan hasil kejahatan asal adalah dua delik yang terpisah. Bisa saja kedua delik tersebut dilakukan oleh orang yang sama. Jika tindak pidana asal dan TPPU dilakukan oleh orang yang sama maka dalam hukum dikenal istilah dengan perbuatan atau concursuf realis. Oleh karena itu DPR berpendapat ketentuan Pasal 69 Undang-Undang TPPU tidak bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang dijunjung dalam negara hukum dalam sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,” tegas Harry.

Berdiri sendiri

Senada dengan DPR, Pemerintah yang diwakili Mualimin Abdi mengatakan TPPU memengaruhi sistem keuangan dan ekonomi serta berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Dengan adanya praktik pencucian uang maka sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana, Pemerintah yakin aparat penegak hukum dapat dimudahkan untuk menyita hasil tindak pidana yang kadang kala sulit untuk disita.

Pemerintah pun berkeyakinan Pasal 69 UU TPPU yang tidak diwajibkan membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya selaras dengan UUD 1945. Adanya pasal tersebut menegaskan bahwa TPPU bukanlah aksesoris sehingga penuntutannya dapat berdiri sendiri tanpa menunggu dari tindak pidana asalnya.

“Sehingga ketika terdakwa tidak mempu membuktikan asal-usul atau sumber penghasilannya di luar penghasilan terdakwa adalah patut diduga bahwa kekayaanya adalah hasil tindak pidana korupsi. Oleh karena itu ketentuan tersebut menurut Pemerintah, justru telah memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, juga dalam rangka melindungi pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, yang di bawah kekuasaanya serta adanya rasa aman sebagai antisipasi adanya transaksi yang begitu cepat, dan mengantisipasi pencegahan kejatahan TPPU,” tegas Mualimin. (Yusti Nurul Agustin)

Sumber : Dikutip langsung dari Portal MK