Pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan

Dinilai Diskriminatif Ibnu Kholdun mengajukan Judicial Review terhadap Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Ketenagalistrikan

Undang-Undang Ketenagalistrikan sedang diuji di Mahkamah Konstitusi,  Ibnu Kholdun selaku Pemohon menilai ketentuan norma Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan.

Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menyatakan bahwa :

Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi”.

Pasal tersebut dinilai mengandung norma yang diskriminatif  bagi Pemohon sebagai konsumen maupun pekerja listrik. Pasalnya, baik pelanggan kaya maupun pelanggan yang tidak mampu harus membayar biaya pembuatan sertifikat laik operasi. Hal tersebut telah menimbulkan kerugian dan berpotensi menimbulkan kerugian, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

“Sepanjang ketentuan Pasal 44 ayat (4) tetap berlaku, tanpa memiliki Sertifikat Laik Operasi, maka Pemohon dapat dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan,” ujar Ibnu di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (28/8).

Pasal 54 UU Kelistrikan menyatakan bahwa:

  1. Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standard nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan atas pembatalan pasal-pasal tersebut secara keseluruhan